Nama
asli Khidir adalah Balya bin Malkan bin Faligh bin ‘Abir bin Salikh bin
Arfakhsad bin Sam bin Nuh. Silsilah nama ini berasal dari pendapat Ibnu
Abbas. Menurut pendapat Ibnu Ishak, dia adalah putera Al-‘Ish bin Ishak
bin Ibrahim al-Khalit.
Berbeda dengan keduanya, an-Naqhasy memiliki pendapat lain. Menurutnya, Khidir adalah putera Fir’aun. Akan tetapi, menurut at-Thabari pendapat ini tidak valid. Sebagian ulama lain berpendapat Khidir adalah Alyasa', teman Ilyas. Pendapat ini tidak valid. Ada lagi yang berpendapat bahwa Khidir adalah Armiya’. Sayang, pendapat ini pun tidak valid.
Sementara itu, Abu al-Qasim Abdullah bin Hasan al-Khats’ami dalam kitab at-Tartf rnenyatakan, Khidir adalah putera seorang raja bernama ‘Amiyal. Raja ini merupakan putera dari Al-'Ish ibnu Ishak. Ibunya adalah Alha, seorang puteri raja bernama Faris.
Diceritakan, Khidir dilahirkan di sebuah gua. Ibunya memberikan susu segar kambing setiap hari ketika Khidir masih bayi. Kemudian, Khidir diambil anak oleh seorang penggembala dan dididik sampai menginjak dewasa. Dia tumbuh menjadi anak cerdas dalam hal tulis dan membaca shuhuf (lembaran-lembaran) yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim.
Pada dasarnya, nama Khidir adalah sebuah gelar. Ini berdasarkan suatu riwayat yang diterima dari Abu Sa’id Muhammad bin Abdillah bin Hamdun, dari Abu Hamid bin al-Husein asy-Syaraqy, dari Muhammad bin Yahya, Abdurrahman bin Basyar dan Ahmad bin Yusuf, keduanya berkata: “Abdullah bin Hamid al-Waraq, dari Makki bin Abdan, dari Abu al-Azhar. dari Abdurrazak, dari Muammar, dari Wahab bin Munabbih, dari Abu Hurairah telah memberitahukan kepada kami bahwa Rasulullah pernah bersabda: ‘la dinamai Khidir karena ia duduk dengan memakai pakaian dari bulu onta berwarna putih di mana jika kain itu bergoyang maka di bawahnya akan tampak berwarna hijau.’"
Dalam Badai’u az-Zhuhur disebutkan sebuah riwayat:
Wahab
bin Munabbih berkata: Nama Khidir adalah Balya, sedangkan julukannya
adalah Abu al-Abbas. la dinamakan Khidir karena ia duduk memakai pakaian
dari farwah baidha' (pakaian dari bulu onta berwarna putih). Jadilah
farwah tersebut berwarna hijau. Dikatakan arti dari farwah tersebut
adalah tanah.
Ada juga riwayat dari Abu Nasr Muhammad bin al-Fadh al-Khazai, dari Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan al-Qasar, dari Ahmad bin Yusuf as-Salami, dari Muhammad bin Yusuf al-Faryani, ia berkata: “Sufyan telah menuturkan dari Manshur, dari Muja¬hid, di mana yang terakhir ini berkata: 'Ia dinamakan Khidir karena setiap kali ia shalat di sekitarnya ber¬warna hijau.”
Sebuah riwayat menyebutkan saat Rasulullah dinaikkan ke langit dengan menunggang punggung buraq bersama sahabatnya. Malaikat Jibril, tiba-tiba ia mencium bau yang harum semerbak. Rasulullah bertanya, “Wahai Jibril, bau wangi apakah ini?" Jibril menjawab, “Bau ini berasal dari seorang raja pada zaman dulu. Ia adalah raja yang punya riwayat menakjubkan pada masanya. Dan, dia hanya memiliki seorang anak, yaitu Khidir.”
Sebuah riwayat mengatakan:
Ayah
Khidir adalah seorang raja yang agung. Untuk urusan pendidikan
puteranya, raja menyerahkan puteranya kepada seorang pendidik. Sayang,
sang putera ternyata tidak berkenan dengan guru yang ditunjuk ayahnya.
Di antara istana dan rumah sang pendidik hidup seorang ahli ibadah. Setiap kali sang putera berangkat ke rumah si pendidik, ia selalu melewati rumah ahli ibadah tersebut. Perilaku ahli ibadah tersebut memikat hatinya. Sang putera pun memilih si ahli ibadah menjadi gurunya. Ia amat rajin menghadiri majelis si ahli ibadah.
Ketika sang putera raja tidak datang menghadiri rumah sang pendidik yang ditunjuk ayahnya, sang pendidik mengira sang putera sedang berada di istana. Sementara, raja mengira puteranya sedang belajar kepada guru yang ditunjuknya. Hal itu berlangsung sampai sang putera menginjak dewasa dan ia mengua¬sai seluruh pengetahuan serta cara ibadah dari si ahli ibadah.
Sementara itu, menurut pendapat Ibnu Ishak, ayah Khidir bernama ‘Amiyal. Suatu hari Amiyal mencari seorang penulis profesional untuk menuliskan kembali suhuf yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim dan Syis.
Berdatanganlah sekelompok penulis meng¬hadapnya. Di antara para penulis tersebut terdapat Khidir, puteranya. Saat itu raja tidak menduga bahwa di situ ada puteranya. Ketika tulisan-tulisan mereka selesai dan dihaturkan kepadanya, raja terkesan dengan salah satu tulisan yang sebenarnya ditulis puteranya sendiri. Hal itu menimbulkan rasa sayang dalam hatinya Lalu, raja bertutur dengan menggunakan tutur bahasa yang halus dan segera mencari tahu siapa sebenarnya penulis tersebut. Raja tidak menyangka ternyata penulis tadi adalah puteranya sendiri. Ia pun bangkit dan merangkulnya.
Suatu ketika berkatalah orang-orang yang dekat dengan sang raja. "Baginda tidak memiliki anak selain Khidir. Sekiranya berkenan, Baginda bisa mengawinkannya dan memiliki keturunan sebagai pewaris.” Mendengar saran demikian, raja setuju. Akan tetapi, permintaan tersebut ditolak oleh Khidir.
Raja membujuknya sekali Lagi. dengan sangat terpaksa, Khidir menerima tawaran tersebut. Ia dinikahkan dengan puteri kerabat dekat kerajaan.
Suatu ketika Khidir mengajak istrinya bicara, “Aku ingin memberi tahu kau sesuatu. Sungguh, Allah akan memalingkanmu dari kejelekan-kejelekan dunia dan azab akhirat kalau kau bersedia mendengar¬kannya. Sebaliknya, kalau kau enggan, sungguh azab Allah akan menimpamu di dunia dan akhirat." Istrinya berkata, “Apakah itu, Kanda?" Khidir berkata, “Aku ini seorang muslim. Aku tidak mengikuti agama ayahku dan perempuan bukan kebutuhanku. Kalau kau rela bersamaku dan bersedia mengikuti agamaku maka bagimu kebaikan dunia dan akhirat. Jika kau enggan, sungguh aku akan mengembalikanmu.” Istrinya men¬jawab, "Aku ikut denganmu.”
Setelah menikah sekian lama istri Khidir belum juga mengandung. Ini mencemaskan kerajaan. Orang-orang yang dekat dengan raja suatu hari bertanya: “Mungkinkah putera mahkota mandul sehingga tidak bisa memiliki keturunan?” Raja menjawab, “Itu bukan urusanku!”
Raja memanggil istri Khidir dan mengajukan pertanyaan. Perempuan itu menjawab sesuai dengan yang dikehendaki suaminya.
Akhirnya, raja mendiamkan masalah ini. Akan tetapi, setelah beberapa waktu kemudian dia memanggil sang putera dan berkata, “Sebaiknya kau ceraikan istrimu. Aku akan kawinkan engkau dengan yang lainnya. Semoga kau memperoleh keturunan.”
Khidir kesal dengan kejadian ini. Akan tetapi, raja tetap bersikukuh memaksakan kehendaknya dan per¬ceraian itu pun terlaksana. Selanjutnya, raja menga¬winkan sang putera dengan perempuan yang sudah janda. Seperti dengan istrinya yang pertama, Khidir juga membuat kesepakatan dengan istrinya yang ke¬dua ini. Waktu terus berlalu, sementara sang raja sudah tidak bisa bersabar untuk menunggu kelahiran seorang cucu.
Raja sekali lagi memanggil sang putera dan ber¬tanya, “Mengapa engkau tidak juga berputera?” Khidir menjawab, “Itu bukan kekuasaanku. Itu urusan Allah.” Raja kurang senang dengan jawaban Khidir. Dia memanggil menantunya dan berkata, "Engkau perempuan yang subur dan masih muda. Engkau bisa memiliki anak dengan orang lain, mengapa dengan puteraku tidak?" Istri Khidir pun menjawab, "‘Putera mu tidak menyentuhku sama sekali.”
Sama halnya dengan istri kedua, istri pertama juga dipanggil dan diinterogasi. Karena terpaksa, perem¬puan itu menjawab sebagaimana jawaban istri kedua.
Sang raja memanggil puteranya langsung. Karena merasa takut dan khawatir dengan keselamatan diri nya. Khidir kabur dari istana tanpa seorang pun tahu ke mana perginya.
Peristiwa tersebut membuat raja menyesal sehing¬ga mengirimkan 100 orang untuk mencari Khidir ke segala penjuru.
Sepuluh orang di antara mereka menemukan Khidir di suatu tepian lautan. Khidir berkata kepada mereka, “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kali¬an, Aku berharap kalian merahasiakannya. Sungguh, jika kalian merahasiakannya maka Allah akan mema¬lingkan kalian dari kesengsaraan dunia dan akhirat. Akan tetapi, jikalau kalian membeberkannya maka kalian tertimpa siksa dunia dan akhirat."
Sepuluh orang tersebut serentak menjawab, “Katakan saja yang ingin engkau sampaikan." Khidir berkata, “Apakah ayahandaku juga mengirim orang selain kalian?” “Benar,” jawab mereka. Khidir melan¬jutkan, “Kalau begitu, rahasiakan perihalku. Jangan bercerita bahwa kalian pernah melihat diriku. Sebab, jika kalian menceritakan atau membawaku kehadapan ayahandaku maka aku pasti akan dibunuh. Itu berarti, secara tidak langsung kalian ikut menumpahkan darahku.” Selanjutnya Khidir berkata, “Jauhi raja. Pergilah kalian darinya.”
Sepuluh orang tersebut kembali ke istana meng¬hadap raja. Sesampainya di istana, 9 dari mereka ter¬nyata tidak menuruti permintaan Khidir untuk merahasiakan keberadaannya. “Kami sudah menemu¬kannya. Ia berkata begini, begini, dan begini kepada kami. Setelah itu, kami tinggalkan dia." Sedangkan orang ke-10 tetap merahasiakan Khidir. “Saya tidak mengetahui keberadaannya,” katanya. Kesembilan orang lainnya segera membantah, “Sungguh, kami benar-benar berhasil menemukannya. Jika Paduka menginginkan maka kami bisa membawanya ke hadapan Paduka." Raja berkata, "Cari lagi dia dan bawa ke hadapanku.”
Ternyata Khidir sudah pindah ke tempat berbeda sehingga mereka tidak berhasil menemukan sosoknya. Raja menganggap mereka telah melakukan kebohongan sehingga dia membunuh 9 orang tersebut, semen¬tara yang satunya dibiarkan hidup.
Usai menghabisi ke-9 orang itu, raja memanggil istri kedua Khidir dan berkata, “Gara-gara engkau anakku kabur!” bentaknya marah. Istri kedua itu pun ikut pula dibunuh. Saat peristiwa itu terdengar istri pertama Khidir, ia segera melarikan diri dari istana karena takut akan ikut terbunuh.
Hal yang sama dilakukan orang ke-10 yang masih hidup. Dia pun memilih ikut kabur ke sebuah desa.
Tak diduga, di desa tersebut dia bertemu dengan istri pertama Khidir yang sedang mencari kayu bakar.
Tiba-tiba
perempuan itu bersuara: Bismillah. Karena penasaran dengan kalimat itu,
orang ke-10 tadi langsung bertanya, “Siapa engkau ini?” Perempuan
tersebut lalu bercerita apa yang telah dialaminya. Laki-laki yang sedang
sembunyi ini akhirnya ikut men¬ceritakan jati dirinya yang sebenarnya.
“Aku adalah orang yang ke-10 itu. Aku pun kabur karena khawatir
terbunuh. Apakah kau bersedia bila aku menikahimu dan kita beribadah
kepada Allah sampai mati?” Si perempuan menjawab, “Ya, aku bersedia.”
Setelah itu, keduanya melanjutkan perjalanan hingga tiba di desa di mana orang-orangnya memiliki tabiat sama seperti Fir'aun (fara'inah). Keduanya mendirikan rumah kayu dan menetap di situ sampai dikarunia tiga orang anak.
Pada suatu waktu, suaminya berkata, “Jika aku meninggal maka aku ingin dikuburkan di tanah ini. Begitu juga dengan kalian. Aku tidak suka jika kita dikubur bersama mereka. Siapa di antara kita yang terakhir meninggal, dia harus berwasiat supaya rumah ini dirobohkan.” Sepeninggal sang suami, bersama anak-anaknya si istri tetap teguh mengesakan Allah dan selalu tekun beribadah. Ia benar-benar melaksanakan wasiat suaminya. Ia bertahan hidup sampai masa pemerintahan Fir’aun.
Pada suatu waktu, datanglah utusan Fir’aun yang menyuruhnya kembali pada agama semula. Akan tetapi, dengan kukuh ia menolak Fir'aun pun marah. Selanjutnya, Fir’aun menyiapkan kawah besar dari tembaga yang penuh air yang dinyalakan hingga mendidih. Fir'aun menyuruh si perempuan dengan puteranya untuk menghadap. Saat mereka sudah menghadap, Fir'aun berkata, “Kembalilah ke agama¬mu semula! Jika tidak maka kau dan puteramu aku masukkan ke dalam kawah besar itu!"
Perempuan itu tetap pada pendiriaannya. la tidak bersedia meninggalkan keyakinannya. Fir’aun pun memerintahkan anaknya yang paling besar dimasuk¬kan ke dalam kawah besar sampai meninggal. Begitu pula dengan puteranya yang kedua. Pada saat itu, perempuan tersebut sedang meng¬gendong puteranya yang masih menyusu. Mereka merebutnya untuk dilemparkan juga ke dalam kawah besar. Perempuan itu menaruh iba kepada puteranya dan hampir saja meluluhkan ketegarannya selama ini, namun tiba-tiba si kecil bersuara, “Bersabarlah, duhai Ibu. Sungguh, kita semua kelak akan berkumpul.” Anak kecil itu pun dilemparkan ke dalam kawah.
Sebelum mereka memasukkan perempuan itu ke dalam tungku, perempuan itu berkata, “Aku mem¬punyai satu permintaan ringan kepada kalian." Mereka bertanya, “Apa itu?" Ia menjawab, “Setelah kalian melemparkanku ke dalam kawah, aku minta tulang-tulang kami kalian kubur di rumahku dan robohkan rumah kami sampai menutupi kubur kami.” Permintaan itu disanggupi dan benar-benar dipenuhi oleh mereka.
Kelak, ketika Rasulullah dinaikkan ke langit, ia mencium bau harum ini. Rasul bertanya, "Bau apakah ini, wahai Jibril?” Kemudian Jibril menceritakan kisah tadi dan berkata, “Inilah bau harum mereka."
Ada riwayat lain yang menceritakan bahwa Jibril bercerita kepada Rasulullah. “Sungguh, ada segolongan kaum dari penduduk kota tersebut yang berlayar di laut dalam suatu urusan perdagangan. Pada suatu hari perahu mereka terhantam badai hingga hancur, namun ada dua orang yang selamat. Keduanya berpegangan pada papan dari sisa-sisa perahu yang hancur. Angin membawa keduanya menepi di pinggir pantai sebuah pulau, keduanya mendarat dan berjalan-jalan berkeliling di sekitar pantai.”
Tiba-tiba kedua orang tersebut melihat Khidir dengan pakaian putih sedang menunaikan shalat. Mereka duduk menunggu sampai Khidir menyelesai¬kan shalatnya. Khidir menoleh ke arah keduanya dan bertanya, “Siapakah kalian ini?” Mereka menjawab, "Kami dari kota ini dan ini. Kami berlayar di laut ini demi suatu urusan perdagangan, namun tiba-tiba datang badai hingga perahu kami pecah dan terdam¬par di pulau ini.”
Khidir berkata lagi kepada mereka, “Kalian boleh memilih, tetap tinggal di sini beribadah kepada Allah dan aku yang akan menanggung semua kebutuhan hidup kalian. Atau, kalian ingin kembali ke kota asal kalian?' Keduanya menjawab serempak “Kami ingin kembali ke tempat asal kami," Khidir berkata, “Kalau memang begitu, kalian harus bersedia memegang janji tidak akan menceritakan sesuatu pun dari kejadian yang pernah kalian Lihat." Keduanya berjanji untuk merahasiakan apa yang mereka lihat.
Pada saat bersamaan, ada gumpalan awan yang sedang berarak, Khidir memanggil awan tersebut. Berkatalah awan-awan tersebut satu per satu. “Aku ingin ke daerah ini dan ini ...” Khidir berkata kepada awan itu, “Bawalah dua orang ini. Turunkan mereka di rumah masing-masing.” Awan memenuhi perintah Khidir. Keduanya diturunkan tepat di rumah mereka.
Salah seorang dari mereka bertekad merahasiakan yang mereka alami, sedangkan yang lain segera keluar dari rumah dan melaporkan kejadian tersebut kepada raja. Raja bertanya, “Apa yang ingin kau sampaikan?" Orang tersebut menjawab, “Aku melihat puteramu di daerah ini. Dia berbuat begini dan begitu padaku." “Siapa yang mengetahuinya selain engkau?” tanya raja. Ia menjawab, “Temanku.”
Diutuslah beberapa orang untuk mencari tahu kebenaran berita tersebut pada teman yang dimaksud. Kepada para urusan, teman yang dimaksud bercerita, “Kami sedang berlayar di lautan. Tiba-tiba datang badai ganas dan menghancurkan perahu kami. Beruntung kami selamat berkat sisa-sisa papan perahu. Kemudian, angin menghempaskan kami hingga ter¬dampar ke pantai sebuah pulau. Kami bertahan hidup di pulau itu dengan makan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Akhirnya, ada tanah mengangkat kami dan menyelamatkan kami sampai di rumah."
Si pengadu spontan membela diri kepada raja dan berkata, “Dia bohong besar! Kalau Anda tidak percaya, antar aku bersama para utusan ke tempat itu. Aku pasti membawa Khidir ke hadapanmu.” Selanjutnya, raja memerintahkan prajurit menahan orang yang merahasiakan keberadaan Khidir. Raja juga meng¬ancam akan menyalibnya karena merahasiakan keber¬adaan Khidir. Akan tetapi, jika keterangan si pengadu ternyata bohong maka si pengadulah yang akan disalib.
Si pengadu bersama orang-orang suruhan raja berangkat mencari Nabi Khidir ke pulau yang dituju. Sayang, mereka tidak berhasil. Mereka pulang meng¬hadap raja dengan tangan hampa. Utusan raja berkata, “Orang ini bohong besar! Kami tidak melihat siapa pun di sana!” Akhirnya, si pengadu pun disalib, sedangkan satunya lagi dilepaskan.
Setelah selesai menceritakan kisah di atas, Jibril berkata, “Pada masa itu penduduk kota benar-benar tenggelam dalam kubang kemaksiatan sehingga membuat Allah murka. Oleh karena itu, Allah mengutusku mendatangi mereka. Aku letakkan sayapku di bawah kota, mencerabut, dan mengangkat kota itu sehingga suaranya terdengar oleh penduduk langit di dunia. Suaranya seperti anjing yang sedang menyalak dan sangat kacau. Allah lalu memerintahkan kota itu dibalik hingga rata. Allah hanya menyisakan rumah orang yang merahasiakan keberadaan Khidir dan satu lagi seorang perempuan. Keduanya selamat tanpa kurang suatu apa pun.”
dikutib dari buku: "Nabi Khidir"
oleh: M.Alwi Fuadi
Jika anda tertarik, anda bisa membelinya di >>> http://www.bukabuku.com/
No comments:
Post a Comment