A. BIOGRAFI SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
Berawal dari sebuah pertanyaan yang mampir
ke saya, “Apakah Imam Nawawi al-Bantani itu penulis Riyadlus Shalihin?”
Demikianlah rumor yang berseliweran di lingkup santri di pesantrenku. Saya
sempat memikirkannya, dan mencoba menelusurinya. Ketika saya mengkaji kitab
Riyadlus Shalihin dan kitab Tanqih al-Qaul, memang di kedua cover kitab
tersebut saya melihat nama yang sama yakni kata “Nawawi”, lantas apakah benar
kedua kitab itu dikarang oleh satu orang? Setelah saya teliti lagi, tampaklah
nama lengkapnya berbeda, kala itu mungkin saya masih berfikir bahwa itu hanya
sekadar rentetan laqob saja, dan kenyataannya tidak. Akhirnya ditemuilah
satu perbedaan yang amat signifikan, yaitu kata “al-Bantani”. Pengarang
Riyadlus Shalihin itu tidak bergelar al-Bantani. Nama lengkapnya adalah Syekh
Yahya bin Syaraf Abu Zakariya an-Nawawi as-Syafi’i. Kata Nawawi merujuk kepada
kampung halaman beliau, yaitu desa Nawa, sebuah desa di wilayah Hauran, Suriah.
Beliau dilahirkan tahun 631 H dan sukses mengarang banyak kitab, antara lain:
Riyadlus Shalihin, al-‘Arba’in an-Nawawiyah, Minhaj at-Thalibin, al-Adzkar,
Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, dan lain-lain.
Sedangkan nama lengkap sekaligus silsilah Syekh
yang bergelar al-Bantani itu adalah Syekh Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi
bin Ali bin Jamad bin Janta bin Mas Buqil bin Masqun bin Masnun bin Maswi bin
Kiai Tajul Arusy Tanara/Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin Banten bin Syarif
Hidayatullah Cirebon bin Umdatuddin Syarif Abdullah bin Ali Nurul Alam bin
Jamaluddin Akbar bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah A’zhomatu khan bin Amir
Abdul Malik al-Muhajir bin Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib
Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alawi ats-Tsani bin Sayyid
Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Imam Ubaidillah bin Imam
Ahmad al-Muhajir bin Imam Isa ar-Rumi
bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Uraidh bin Imam Ja’far ash-Shidiq
bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin
Sayyidina Ali bin Abu Thalib, suami Sayyidatuna Fathimah Zahrah binti Sayyidina
Nabi Muhammad SAW.
Beliau dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M
di Desa Pedaleman, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, Banten. Ayah sang
pengasuh pesantren bernama K.H. Umar bin Arabi al-Jawi dan seorang ibu rumah
tangga nan sholehah bernama Zubaedah telah membesarkan beliau dengan didikan
agamis. Sejak kecil beliau telah diajarkan tauhid, fiqh dan tasawuf oleh
ayahnya serta dibina menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua.
Dengan kasih sayang orang tuanya, Nawawi muda saat berusia delapan tahun mulai
dilepas untuk berguru kepada Kiai Sahal Banten selama beberapa tahun dan
setelah itu melanjut dalam perantauan menimba ilmu kepada Kiai Yusuf di
Purwakarta. Pada tahun 1828, tatkala usianya mencapai lima belas tahun beliau
kembali ke kampung kelahirannya dan bertekad untuk menunaikan rukun Islam
kelima. Beliau melanjutkan langlang buananya ke Hijaz seusai Haji, di sanalah
beliau berguru kepada para Ulama Mekkah, di antaranya: Syekh Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syekh Muhammad Khatib Hambali, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Abdul
Hamid Daghestani, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh
Ahmad Dimyati, dan Syekh Junaid al-Betawi. Seusai memperdalam ilmu agamanya
selama tiga tahun di Tanah Arab beliau pun pulang ke Tanah Air.
Sekembalinya Syekh Nawawi al-Bantani ke
Indonesia, beliau langsung mengagas suatu majelis pengajian dan pembelajaran
yang nantinya akan menjadi wadah pengamalan ilmunya dan penyebaran ajaran Islam
bagi warga di desanya. Sekian lama mengajarkan agama Islam di desanya itu,
Syekh Nawawi lama kelamaan merasa tak betah dengan keberadaan Belanda yang
senantiasa mengawasi juga terkadang mengusik majelisnya. Bahkan, nyaris
ditangkap karena tuduhan isu bahwa beliau terlibat provokator barisan pangerang
Diponegoro di desanya untuk melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda, karena
itu Syekh Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekkah.
Pada kali inilah –sesuatu yang telah
ditakdirkan oleh Allah SWT, Syekh Nawawi al-Bantani tinggal di Mekkah sampai
akhir hayatnya. Beliau akhirnya karena kealiman dan ketinggian ilmunya ditunjuk
oleh Syekh Achmad Khotib al-Syambasi untuk menggantikannya menjadi Imam Besar
Masjid al-Haram. Mulai dari sinilah Beliau disebut Imam Nawawi al-Bantani,
seorang Imam Masjid al-Haram dari Banten. Kekaromahannya sudah amat disegani
oleh para Ulama Hijaz, kerendahan hatinya telah membuatnya menjadi seorang yang
besar dan banyak dari masyarakat Mekkah yang berguru padanya. Beliau pun
digelari Sayyidu Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam wa al-Fahm
al-Mudaqqiq (Sang Imam yang pemahamannya amat mendalam), A’yan Ulama al-Qarn
al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 Hijriyah), atau Imam Ulama
al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci). Bahkan Snouck Hourgronje ketika bertemu
dengannya di Mekkah –saat diutus pemerintah Hindia Belanda untuk terus mengamati
gerakan dan pemikiran yang dikembangkannya, amat mengaguminya dan menyebutnya
sebagai Doktor Teologi.
B.
ALAM TASAWUF SYEKH NAWAWI
AL-BANTANI
Syekh Nawawi semasa hidupnya dihabiskan
untuk belajar, mengajar, dan mengabdi pada agama. Beliau juga merupakan seorang
ulama yang produktif, kegemarannya menulis telah mengantarkannya menjadi salah
satu ulama yang tersohor, beliau pun dijuluki Nawawi kedua –Ulama abad ke-6 H.
Akibat karangan kitab-kitab beliau yang amat memukau, membuat beliau diundang
untuk datang ke Universitas al-Azhar Kairo, Mesir untuk mempresentasikan
sekaligus menyebarkan ilmu-ilmu beliau. Waktu itu, Syekh Nawawi mempersilakan
muridnya untuk maju ke podium menggantikannya tanpa sepengetahuan audien, semua
karena beliau begitu rendah hati dan tidak mau dipuji. Kitab-kitab karangan
beliau mencapai 115 kitab, diantaranya: Syarh Nasha’ih al-‘Ibad, Tafsir
al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, Maraqi al-‘Ubudiyah syarh Bidayah al-Hidayah,
Nur ad-Dzulam syarh ‘Aqidah al-Awam, Qathi’ at-Thugyan ‘ala Mandzumah Syu’ab
al-Iman, Uqud al-Lujjain fi Bayan Huquq az-Zaujain, Sullam at-Taufiq, Tanqih
al-Qaul, Irsyad al-‘Ibad dan lain-lain.
Selama mengajar di Mekkah itu, murid-murid
yang ingin berguru kepada beliau tak sedikit dijumpai berasal dari Nusantara,
antara lain: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Sumatera Barat), Syekh Mahfudz
Termasi (Pacitan), Syekh Saleh Darat (Semarang), Syekh Hasyim Asy’ari (Jawa
Timur), Syekh Chalil (Bangkalan), Syekh Mas Abdurahman (Mathla’ul Anwar), KH.
Asy’ari (Bawean), KH. Tb. Asnawi (Caringin), KH. Ilyas (Kragilan), KH. Najihun
(Tangerang), KH. Abdul Ghaffar (Tirtayasa), KH. Arsyad Thawil, dan beberapa
dari Negeri Jiran, seperti: KH. Dawud (Perak Malaysia), Thahir Jamaluddin
(Singapura), dan lain-lain. Meskipun Syekh Nawawi tidak banyak berperan aktif
di Nusantara, tetapi melalui murid-muridnyalah beliau lahirkan
cendekiawan-cendekiawan Muslim Nusantara, para pemuka agama yang masyhur, dan
pejuang Islam yang terus mencetak kader ulama secara turun-temurun. Sampai saat
ini pun, kitab-kitab beliau masih dikaji dan menjadi mercusuar bagi pemikiran
tauhid dan tasawuf para santri di pesantren.
Untuk menelusuri corak tasawuf Syekh
Nawawi, cara yang paling memungkinkan adalah dengan kembali menelaah kitab-kitabnya.
Apa yang menjadi buah pikirnya tentu tertuang dalam kitab-kitab beliau. Dari
kitab Sullam at-Taufiq misalnya, tauhid dan ajaran tentang sifat-sifat Allah serta keyakinan akan qadimnya al-Qur’an
menunjukkan bahwa beliau adalah penganut paham Asy’ariah –paham yang dicetuskan
oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935 M.). Aliran ini pula yang dianut setia oleh
Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M.). Dari sini, dapat dijumpai bahwa Syekh
Nawawi satu aliran dengan al-Ghazali, yang ada kemungkinan bahwa tasawuf Syekh
Nawawi mirip dengan tasawufnya al-Ghazali. Dapat kita lihat dalam kitab-kitab
Syekh Nawawi seperti Irsyad al-‘Ibad dan Tanqih al-Qaul yang amat menekankan
pada aspek akhlak dan amal, tentu saja ini mirip dengan tasawuf akhlaki dan
amalinya Imam al-Ghazali. Dalam kitab-kitab beliau yang lain akan ditemui bahwa
Syekh Nawawi amat menggabungkan Syariat, Hakikat, dan Ma’rifat, sama seperti
paham al-Ghazali yang melarang seseorang mempelajari Hakikat sebelum
mempelajari Syariat. Bahkan, dalam salah satu kitab Syekh Nawawi ada yang merupakan
syarh dari kitabnya al-Ghazali, yakni kitab Maraqi al-‘Ubudiyah syarh Bidayah
al-Hidayah. Dan untuk ilmu Fiqh, dari kitab-kitab beliau dapat diketahui bahwa
Syekh Nawawi bermadzhab Syafi’i.
Syekh Nawawi dengan tasawuf akhlaki dan
amalinya telah melahirkan banyak ulama-ulama Nusantara yang menaruh perhatian
besar perihal akhlak dan amal bagi para santrinya. Karomah Syekh Nawawi sudah
tidak diragukan lagi, nama beliau tetap terngiang sampai saat ini. Pernah suatu
ketika saat masih muda Syekh Nawawi berkunjung ke Jakarta, ketika hendak shalat
di masjid Pekojan didapatinya masjid itu salah arah kiblatnya. Maka, beliau
dengan lantang membenarkannya. Namun, Imam Masjid itu, Sayyid Utsman bin Agil
bin Yahya al-Alawi mengatakan bahwa kiblat sudah benar. Lalu timbullah
perdebatan antara seorang habib dan seorang anak muda. Akhirnya, Syekh Nawawi
muda menarik lengan baju Sayyid Utsman seraya berkata: “Lihatlah itu wahai
Habib! Ka’bah ada di arah sana, kiblat masjid ini terlalu ke kiri dan harus
digeser sedikit ke kanan”. Sontak sang habib pun terkejut dan terkesima, dapat
melihat Ka’bah dengan jelas sambil bertanya-tanya siapakah anak muda yang
memiliki Nur Bashariyah ini? Akhirnya, arah kiblat pun digeser dan masih tetap
sampai sekarang di masjid Pekojan Jakarta. Karomah lain Syekh Nawawi terjadi
tatkala hendak menulis kitab Maraqi al-‘Ubudiyah. Kala itu beliau sedang dalam
perjalanan di padang pasir, langit mulai gelap sedangkan aspirasi untuk menulis
sedang menguat. Akhirnya, beliau berdo’a dan kemudian jari telunjuk kirinya
mengeluarkan cahaya untuk menjadi penerangan dan beliau pun mulai menulis
dengan tangan kanannya. Semua atas izin Allah.
Sosok Syekh Nawawi amat menginspirasi saya.
Beliau adalah ulama Banten tetapi menjadi pemuka ulama Hijaz. Sungguh luar
biasa perjuangan beliau, semua karena kedekatan beliau dengan Sang Maha
Pencipta, Rahmat dan Maghfiroh Allah senantiasa mengalir untuk beliau.
Kitab-kitab beliau yang terus-menerus dikaji umat Islam senantiasa menjadi ladang
pahala yang tak terputus. Wirid Syekh Nawawi al-Bantani adalah membaca al-Fatihah
sebanyak 1000 kali setiap sehabis shalat dan membaca Basmalah sebanyak
1000 kali setiap sebelum menulis kitabnya. Beliau adalah ulama syariat
sekaligus ulama ma’rifat. Sampai pada akhirnya, tanggal 25 Syawal 1314 H./1897
M. beliau tutup usia di Mekkah pada umur 84 tahun dan dimakamkan di Jannatul
Mu’alla, juga dikenal sebagai Pekuburan Ma’la dan al-Hajun berada di utara
Masjidil Haram di Mekkah. Di sini dikuburkan pula buyut, paman, kakek, istri,
dan keturunan Nabi Muhammad SAW. Makam Syekh Nawawi al-Bantani rahimahullah
senantiasa diziarahi oleh banyak orang, terutama jamaah haji dari Indonesia.
Dan masyarakat Banten setiap bulan Syawal senantiasa memperingati haul al-Maghfurlah
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani rahimahullah.