Tuesday, 26 February 2019

“ALAM TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI”



A.   BIOGRAFI SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
Berawal dari sebuah pertanyaan yang mampir ke saya, “Apakah Imam Nawawi al-Bantani itu penulis Riyadlus Shalihin?” Demikianlah rumor yang berseliweran di lingkup santri di pesantrenku. Saya sempat memikirkannya, dan mencoba menelusurinya. Ketika saya mengkaji kitab Riyadlus Shalihin dan kitab Tanqih al-Qaul, memang di kedua cover kitab tersebut saya melihat nama yang sama yakni kata “Nawawi”, lantas apakah benar kedua kitab itu dikarang oleh satu orang? Setelah saya teliti lagi, tampaklah nama lengkapnya berbeda, kala itu mungkin saya masih berfikir bahwa itu hanya sekadar rentetan laqob saja, dan kenyataannya tidak. Akhirnya ditemuilah satu perbedaan yang amat signifikan, yaitu kata “al-Bantani”. Pengarang Riyadlus Shalihin itu tidak bergelar al-Bantani. Nama lengkapnya adalah Syekh Yahya bin Syaraf Abu Zakariya an-Nawawi as-Syafi’i. Kata Nawawi merujuk kepada kampung halaman beliau, yaitu desa Nawa, sebuah desa di wilayah Hauran, Suriah. Beliau dilahirkan tahun 631 H dan sukses mengarang banyak kitab, antara lain: Riyadlus Shalihin, al-‘Arba’in an-Nawawiyah, Minhaj at-Thalibin, al-Adzkar, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, dan lain-lain.
Sedangkan nama lengkap sekaligus silsilah Syekh yang bergelar al-Bantani itu adalah Syekh Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Mas Buqil bin Masqun bin Masnun bin Maswi bin Kiai Tajul Arusy Tanara/Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin Banten bin Syarif Hidayatullah Cirebon bin Umdatuddin Syarif Abdullah bin Ali Nurul Alam bin Jamaluddin Akbar bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah A’zhomatu khan bin Amir Abdul Malik al-Muhajir bin Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alawi ats-Tsani bin Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad al-Muhajir bin Imam Isa ar-Rumi  bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Uraidh bin Imam Ja’far ash-Shidiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali bin Abu Thalib, suami Sayyidatuna Fathimah Zahrah binti Sayyidina Nabi Muhammad SAW.
Beliau dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M di Desa Pedaleman, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, Banten. Ayah sang pengasuh pesantren bernama K.H. Umar bin Arabi al-Jawi dan seorang ibu rumah tangga nan sholehah bernama Zubaedah telah membesarkan beliau dengan didikan agamis. Sejak kecil beliau telah diajarkan tauhid, fiqh dan tasawuf oleh ayahnya serta dibina menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua. Dengan kasih sayang orang tuanya, Nawawi muda saat berusia delapan tahun mulai dilepas untuk berguru kepada Kiai Sahal Banten selama beberapa tahun dan setelah itu melanjut dalam perantauan menimba ilmu kepada Kiai Yusuf di Purwakarta. Pada tahun 1828, tatkala usianya mencapai lima belas tahun beliau kembali ke kampung kelahirannya dan bertekad untuk menunaikan rukun Islam kelima. Beliau melanjutkan langlang buananya ke Hijaz seusai Haji, di sanalah beliau berguru kepada para Ulama Mekkah, di antaranya: Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Muhammad Khatib Hambali, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Abdul Hamid Daghestani, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Junaid al-Betawi. Seusai memperdalam ilmu agamanya selama tiga tahun di Tanah Arab beliau pun pulang ke Tanah Air.
Sekembalinya Syekh Nawawi al-Bantani ke Indonesia, beliau langsung mengagas suatu majelis pengajian dan pembelajaran yang nantinya akan menjadi wadah pengamalan ilmunya dan penyebaran ajaran Islam bagi warga di desanya. Sekian lama mengajarkan agama Islam di desanya itu, Syekh Nawawi lama kelamaan merasa tak betah dengan keberadaan Belanda yang senantiasa mengawasi juga terkadang mengusik majelisnya. Bahkan, nyaris ditangkap karena tuduhan isu bahwa beliau terlibat provokator barisan pangerang Diponegoro di desanya untuk melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda, karena itu Syekh Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekkah.
Pada kali inilah –sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT, Syekh Nawawi al-Bantani tinggal di Mekkah sampai akhir hayatnya. Beliau akhirnya karena kealiman dan ketinggian ilmunya ditunjuk oleh Syekh Achmad Khotib al-Syambasi untuk menggantikannya menjadi Imam Besar Masjid al-Haram. Mulai dari sinilah Beliau disebut Imam Nawawi al-Bantani, seorang Imam Masjid al-Haram dari Banten. Kekaromahannya sudah amat disegani oleh para Ulama Hijaz, kerendahan hatinya telah membuatnya menjadi seorang yang besar dan banyak dari masyarakat Mekkah yang berguru padanya. Beliau pun digelari Sayyidu Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Sang Imam yang pemahamannya amat mendalam), A’yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 Hijriyah), atau Imam Ulama al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci). Bahkan Snouck Hourgronje ketika bertemu dengannya di Mekkah –saat diutus pemerintah Hindia Belanda untuk terus mengamati gerakan dan pemikiran yang dikembangkannya, amat mengaguminya dan menyebutnya sebagai Doktor Teologi.
B.    ALAM TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
Syekh Nawawi semasa hidupnya dihabiskan untuk belajar, mengajar, dan mengabdi pada agama. Beliau juga merupakan seorang ulama yang produktif, kegemarannya menulis telah mengantarkannya menjadi salah satu ulama yang tersohor, beliau pun dijuluki Nawawi kedua –Ulama abad ke-6 H. Akibat karangan kitab-kitab beliau yang amat memukau, membuat beliau diundang untuk datang ke Universitas al-Azhar Kairo, Mesir untuk mempresentasikan sekaligus menyebarkan ilmu-ilmu beliau. Waktu itu, Syekh Nawawi mempersilakan muridnya untuk maju ke podium menggantikannya tanpa sepengetahuan audien, semua karena beliau begitu rendah hati dan tidak mau dipuji. Kitab-kitab karangan beliau mencapai 115 kitab, diantaranya: Syarh Nasha’ih al-‘Ibad, Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, Maraqi al-‘Ubudiyah syarh Bidayah al-Hidayah, Nur ad-Dzulam syarh ‘Aqidah al-Awam, Qathi’ at-Thugyan ‘ala Mandzumah Syu’ab al-Iman, Uqud al-Lujjain fi Bayan Huquq az-Zaujain, Sullam at-Taufiq, Tanqih al-Qaul, Irsyad al-‘Ibad dan lain-lain.
Selama mengajar di Mekkah itu, murid-murid yang ingin berguru kepada beliau tak sedikit dijumpai berasal dari Nusantara, antara lain: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Sumatera Barat), Syekh Mahfudz Termasi (Pacitan), Syekh Saleh Darat (Semarang), Syekh Hasyim Asy’ari (Jawa Timur), Syekh Chalil (Bangkalan), Syekh Mas Abdurahman (Mathla’ul Anwar), KH. Asy’ari (Bawean), KH. Tb. Asnawi (Caringin), KH. Ilyas (Kragilan), KH. Najihun (Tangerang), KH. Abdul Ghaffar (Tirtayasa), KH. Arsyad Thawil, dan beberapa dari Negeri Jiran, seperti: KH. Dawud (Perak Malaysia), Thahir Jamaluddin (Singapura), dan lain-lain. Meskipun Syekh Nawawi tidak banyak berperan aktif di Nusantara, tetapi melalui murid-muridnyalah beliau lahirkan cendekiawan-cendekiawan Muslim Nusantara, para pemuka agama yang masyhur, dan pejuang Islam yang terus mencetak kader ulama secara turun-temurun. Sampai saat ini pun, kitab-kitab beliau masih dikaji dan menjadi mercusuar bagi pemikiran tauhid dan tasawuf para santri di pesantren.
Untuk menelusuri corak tasawuf Syekh Nawawi, cara yang paling memungkinkan adalah dengan kembali menelaah kitab-kitabnya. Apa yang menjadi buah pikirnya tentu tertuang dalam kitab-kitab beliau. Dari kitab Sullam at-Taufiq misalnya, tauhid dan ajaran tentang sifat-sifat Allah  serta keyakinan akan qadimnya al-Qur’an menunjukkan bahwa beliau adalah penganut paham Asy’ariah –paham yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935 M.). Aliran ini pula yang dianut setia oleh Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M.). Dari sini, dapat dijumpai bahwa Syekh Nawawi satu aliran dengan al-Ghazali, yang ada kemungkinan bahwa tasawuf Syekh Nawawi mirip dengan tasawufnya al-Ghazali. Dapat kita lihat dalam kitab-kitab Syekh Nawawi seperti Irsyad al-‘Ibad dan Tanqih al-Qaul yang amat menekankan pada aspek akhlak dan amal, tentu saja ini mirip dengan tasawuf akhlaki dan amalinya Imam al-Ghazali. Dalam kitab-kitab beliau yang lain akan ditemui bahwa Syekh Nawawi amat menggabungkan Syariat, Hakikat, dan Ma’rifat, sama seperti paham al-Ghazali yang melarang seseorang mempelajari Hakikat sebelum mempelajari Syariat. Bahkan, dalam salah satu kitab Syekh Nawawi ada yang merupakan syarh dari kitabnya al-Ghazali, yakni kitab Maraqi al-‘Ubudiyah syarh Bidayah al-Hidayah. Dan untuk ilmu Fiqh, dari kitab-kitab beliau dapat diketahui bahwa Syekh Nawawi bermadzhab Syafi’i.
Syekh Nawawi dengan tasawuf akhlaki dan amalinya telah melahirkan banyak ulama-ulama Nusantara yang menaruh perhatian besar perihal akhlak dan amal bagi para santrinya. Karomah Syekh Nawawi sudah tidak diragukan lagi, nama beliau tetap terngiang sampai saat ini. Pernah suatu ketika saat masih muda Syekh Nawawi berkunjung ke Jakarta, ketika hendak shalat di masjid Pekojan didapatinya masjid itu salah arah kiblatnya. Maka, beliau dengan lantang membenarkannya. Namun, Imam Masjid itu, Sayyid Utsman bin Agil bin Yahya al-Alawi mengatakan bahwa kiblat sudah benar. Lalu timbullah perdebatan antara seorang habib dan seorang anak muda. Akhirnya, Syekh Nawawi muda menarik lengan baju Sayyid Utsman seraya berkata: “Lihatlah itu wahai Habib! Ka’bah ada di arah sana, kiblat masjid ini terlalu ke kiri dan harus digeser sedikit ke kanan”. Sontak sang habib pun terkejut dan terkesima, dapat melihat Ka’bah dengan jelas sambil bertanya-tanya siapakah anak muda yang memiliki Nur Bashariyah ini? Akhirnya, arah kiblat pun digeser dan masih tetap sampai sekarang di masjid Pekojan Jakarta. Karomah lain Syekh Nawawi terjadi tatkala hendak menulis kitab Maraqi al-‘Ubudiyah. Kala itu beliau sedang dalam perjalanan di padang pasir, langit mulai gelap sedangkan aspirasi untuk menulis sedang menguat. Akhirnya, beliau berdo’a dan kemudian jari telunjuk kirinya mengeluarkan cahaya untuk menjadi penerangan dan beliau pun mulai menulis dengan tangan kanannya. Semua atas izin Allah.
Sosok Syekh Nawawi amat menginspirasi saya. Beliau adalah ulama Banten tetapi menjadi pemuka ulama Hijaz. Sungguh luar biasa perjuangan beliau, semua karena kedekatan beliau dengan Sang Maha Pencipta, Rahmat dan Maghfiroh Allah senantiasa mengalir untuk beliau. Kitab-kitab beliau yang terus-menerus dikaji umat Islam senantiasa menjadi ladang pahala yang tak terputus. Wirid Syekh Nawawi al-Bantani adalah membaca al-Fatihah sebanyak 1000 kali setiap sehabis shalat dan membaca Basmalah sebanyak 1000 kali setiap sebelum menulis kitabnya. Beliau adalah ulama syariat sekaligus ulama ma’rifat. Sampai pada akhirnya, tanggal 25 Syawal 1314 H./1897 M. beliau tutup usia di Mekkah pada umur 84 tahun dan dimakamkan di Jannatul Mu’alla, juga dikenal sebagai Pekuburan Ma’la dan al-Hajun berada di utara Masjidil Haram di Mekkah. Di sini dikuburkan pula buyut, paman, kakek, istri, dan keturunan Nabi Muhammad SAW. Makam Syekh Nawawi al-Bantani rahimahullah senantiasa diziarahi oleh banyak orang, terutama jamaah haji dari Indonesia. Dan masyarakat Banten setiap bulan Syawal senantiasa memperingati haul al-Maghfurlah Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani rahimahullah.